Untuk memasarkan produk/jasa secara luas ke berbagai negara sasaran, perusahaan global umumnya menggunakan layanan jasa transkreasi guna mengadaptasi dan menyampaikan konten pemasaran ke banyak bahasa.
Seperti diketahui, layanan transkreasi memungkinkan sebuah produk dibentuk oleh selera pasar lokal, menghasilkan strategi pemasaran global yang tingkat keberhasilannya lebih signifikan dan mudah dicerna penduduk asli target sasaran.
Dalam praktiknya, transkreasi melakukan penyesuaian kata maupun gambar di dalam konten sumber dengan mengadaptasi emosi, nuansa, idiom, ucapan, dan ungkapan audiens sasaran. Pesan sebuah produk yang ditranskreasikan kemudian memperoleh pengalaman emosional yang identik kepada audiens dalam bahasa target, seperti halnya terjadi pada audiens dalam bahasa sumber.
Hal ini yang membuat banyak perusahaan global mengandalkan layanan jasa transkreasi untuk menarik minat konsumen di negara sasaran. Kendati demikian, tidak semua produk transkreasi berhasil memenuhi ekspektasi klien. Beberapa produk transkreasi justru menjadi bumerang bagi si pemesan jasa. Seperti yang kami suguhkan dalam deretan contoh produk transkreasi yang berhasil dan gagal berikut ini:
Contoh produk transkreasi yang berhasil
Salah satu contoh transkreasi yang berhasil adalah ketika McDonald’s sanggup mengadaptasi slogan dan menu makanan mereka untuk menarik minat konsumen negara lain. Restoran waralaba asal Amerika Serikat ini dikenal dengan slogan populernya “I’m lovin ‘it”. Ketika McDonald’s memasuki pasar Tiongkok, mereka harus mentranskreasikan slogan populernya agar sesuai dengan ekspresi lokal menjadi “I just like it“.
Bukan tanpa sebab, kata “cinta” dalam bahasa Mandarin, merupakan istilah yang sangat serius dan jarang diucapkan. Sehingga tim pemasaran McDonald’s menggantinya dengan kata “suka”, ekspresi lokal yang lebih sejalan dengan budaya Tionghoa.
Selain slogan, transkreasi juga dilakukan tim pemasaran McDonald’s pada menu makanannya. McDonald’s di India misalnya merilis menu McPaneer Royale agar dapat lebih relevan dan menggaet rasa penasaran audiens setempat.
Sama halnya dengan McDonald’s di Indonesia yang menggunakan ayam goreng tepung dan nasi putih sebagai menu andalan lain selain burger. Strategi produk yang menyesuaikan selera pasar lokal ini dilakukan agar target audiens dapat lebih mudah menerima agenda pemasaran global McDonald’s, tanpa menyadari bahwa mereka menyantap makanan dari negara lain.
Tidak hanya McDonald’s, contoh keberhasilan layanan transkreasi lainnya yaitu transkreasi Coca-cola di Tiongkok. Kendati memiliki produk dengan pesan tunggal, kampanye Coca-cola di seluruh dunia memiliki strategi pemasaran yang beragam dari satu negara ke negara lain. Semua dilakukan demi memenuhi ekspektasi konsumen sasaran.
Di Tiongkok misalnya, Coca-cola mengganti nama produk mereka menjadi “Kekou Kele” atau dalam bahasa setempat diartikan sebagai kebahagiaan yang nikmat. Dengan strategi tersebut, minuman bersoda ini mudah disukai masyarakat Tiongkok dan Coca-cola berhasil menaklukkan pasarnya.
Contoh produk transkreasi yang gagal
Tidak selamanya produk transkreasi berhasil memenuhi ekspektasi klien dan menjamah konsumen target sasaran. Beberapa di antaranya justru menjadi bumerang bagi perusahaan pemesan jasa. Penyebabnya beragam, dari kesalahan manusia hingga kurangnya riset seputar budaya negara sasaran.
Salah satu contoh kegagalan transkreasi tersebut adalah ketika merek sepatu ternama Puma dianggap melecehkan Uni Emirat Arab karena menempatkan bendera negara tersebut dalam produk sepatu keluaran terbaru yang dirilis khusus di UEA. Maksud hati membuat rilisan khusus demi menghormati UEA, produk transkreasi Puma justru melukai masyarakat setempat.
Masyarakat UEA menganggap Puma melakukan penghinaan dengan merilis sepatu berdesainkan ornamen bendera negara. Hal ini dikarenakan sepatu yang menyentuh lantai dianggap mendekati najis atau kotoran dalam pemahaman masyarakat setempat.
Lain Puma, lain pula HSBC. Gara-gara kekeliruan transkreasi, bank multinasional asal Inggris, ini mengalami kerugian hingga 10 juta dollar AS atau setara Rp 144 miliar. Kejadian nahas tersebut terjadi pada medio 2009, ketika HSBC meluncurkan slogan baru bertajuk “Assume Nothing.”
Entah kesalahan terletak pada tim penerjemah atau bagian pemasaran HSBC, slogan tersebut ditranskreasikan untuk pasar global menjadi “Do Nothing.” Direksi HSBC seketika kebakaran jenggot mengetahui buruknya slogan yang ditranskreasikan tersebut. Mereka pun harus mengucurkan dana ratusan miliar rupiah untuk mengganti slogan dan menyelamatkan citra perusahaan.