Seni Penerjemahan itu Bernama Takarir

Membuat takarir atau subtitle tidaklah semudah menerjemahkan adegan dan dialog aktor dari bahasa asal ke bahasa tujuan. Lebih dari itu, dibutuhkan keterampilan khusus, pengetahuan, kejelian dan kepekaan mengadaptasi roh yang dibangun di dalam film ke dalam teks terjemahan takarir. Maka tidak berlebihan menyebut takarir adalah salah satu bentuk seni yang membantu film menjangkau audiens global.

Dengan memahami deretan fakta pembuatan takarir, lengkap dengan tantangan yang jamak dihadapi para penerjemah teks audiovisual ini, kamu akan lebih menghargai keberadaan takarir dalam film — yang sejatinya berperan tidak kalah penting dengan unsur produksi film lainnya. Apa saja?

Menerjemahkan emosi

Salah satu aspek terpenting dalam film yang menjadi bagian tersulit dalam proses penerjemahan takarir adalah emosi. Penerjemah dituntut harus mampu mengekspresikan emosi yang sama dari dialog berbahasa asali yang dituturkan aktor.

Penerjemah dan editor harus cermat memilih kata yang tepat, sehingga emosi tersebut dapat disampaikan secara utuh. Jenis emosi serupa yang diekspresikan adegan dan aktor pun harus diterjemahkan secara efektif. 

Jika penerjemah gagal membawa emosi adegan dan dialog film ke dalam takarir, ekspresi emosi yang dibawa melalui adegan dan dialog yang telah diterjemahkan dapat terasa hambar. Dampaknya penonton kesulitan memahami potongan adegan maupun dialog tertentu.

Mencari padanan kata

Tidak semua bahasa terjemahan memiliki padanan kata serupa bahasa asal. Oleh sebab itu mencari padanan kata yang tepat sesuai ekspresi bahasa asali merupakan salah satu tantangan dalam proses terjemahan takarir.

Komitmen pada ruang dan waktu

Dibutuhkan keterampilan yang baik dan terlatih dalam menerjemahkan dan memilih kata yang tepat dengan ruang dan waktu takarir yang amat terbatas. Terbatas karena ruang teks takarir dibatasi hanya dua baris subjudul. Setiap baris subjudul maksimal berjumlah 35 karakter (atau tergantung panduan selingkung), termasuk simbol dan spasi. 

Jumlah kata yang terbatas juga harus disesuaikan dengan spotting atau waktu muncul dan hilangnya takarir dari layar. Penentuan spotting juga harus disesuaikan dengan kecepatan membaca rata-rata  penonton. Sementara, ada banyak padanan kata bahasa terjemahan yang jumlahnya lebih banyak dari bahasa asali.

Oleh sebab itu, selain harus memastikan takarir tampil di layar ketika aktor berbicara, dibutuhkan keterampilan intersemiotik, penguasaan budaya serta linguistik untuk melakukan parafrase dan mereduksi kata terjemahan yang singkat dan tepat guna dengan ruang waktu yang terbatas.

Adaptasi ritme audiovisual

Perbedaan mendasar dari penerjemahan teks takarir dengan medium lain seperti buku adalah penonton film yang digempur audio sumber bahasa asali akan selalu menyadari bahwa mereka sedang membaca hasil terjemahan.

Maka dari itu, penerjemahan takarir yang dianggap berhasil — sekalipun tidak dapat menyamai bahasa asali secara utuh — adalah takarir yang dapat membuat penonton menikmati film tanpa harus mengeluhkan hasil penerjemahan yang payah.

Keberhasilan penerjemahan takarir tersebut salah satunya disebabkan oleh kesadaran penerjemah mengadaptasi ritme audiovisual bahasa asali ke dalam bahasa tujuan. Ritme audiovisual merupakan aspek penting yang kerap disusun dan dimasukkan dengan cermat ke dalam dialog dan adegan, sehingga membuatnya terasa lebih luwes.

Jika penerjemah berhasil mengadaptasi ritme audiovisual bahasa asali ke dalam bahasa tujuan, penonton dapat dibuat lupa bahwa mereka sedang membaca hasil terjemahan takarir. Penonton pun dapat menikmati film tanpa harus mengerenyitkan dahi karena disuguhi hasil terjemahan takarir yang baik.

Itulah deretan fakta pembuatan takarir yang perlu kamu ketahui. Tidak semudah yang dibayangkan bukan?

×