Beberapa tahun belakangan, film dan video menjelma menjadi komoditas asupan visual yang paling laris dan diminati masyarakat dunia, termasuk Indonesia.

Terlebih ketika pandemi Covid-19 melanda, dengan keterbatasan ragam kegiatan harian yang dilakukan di dalam rumah, banyak orang mengisi sebagian besar waktu luang mereka dengan menonton video dan film melalui layanan streaming seperti Youtube dan Netflix.

Bentuk video yang ditonton pun beragam, salah satunya film pendek. Jenis film berdurasi 15-60 menit ini digandrungi banyak orang bukan hanya karena ringkas penyajiannya, dan memungkinkan penonton berselancar menikmati varian film pendek lain, tetapi juga isi cerita filmnya yang menarik dan kebanyakan tidak dimiliki film mainstream berdurasi panjang di Tanah Air.

Tidak sedikit film pendek Indonesia kiwari yang menawarkan cerita-cerita keseharian di pelosok daerah tertentu yang dirasa dekat dan relevan oleh banyak orang Indonesia. Maka tak heran jika film besutan Ravacana Films nan fenomenal berjudul Tilik, misalnya, bisa dengan cepat viral dan menyedot atensi jutaan penonton.

Padahal, film itu diproduksi tahun 2018, dan baru diunggah kembali serta dapat disaksikan secara gratis melalui akun Youtube Ravacana Films pertengahan tahun 2020 lalu.

Lebih mengherankannya lagi, film yang menceritakan budaya tilik atau aktivitas menjenguk tetangga secara beramai-ramai dan familier di kawasan pedesaan Bantul, Yogyakarta, itu sepenuhnya menggunakan dialog berbahasa Jawa.

Ya, sepanjang 32 menit penonton secara garis besar hanya menyaksikan perjalanan ibu-ibu desa menumpangi truk dan hendak menjenguk tokoh bernama Bu Lurah di rumah sakit. Namun, yang menarik perhatian, isi dialog antarkarakter di dalam truk tersebut dipenuhi dengan timpal-menimpal gosip seputar kembang desa bernama Dian yang jadi topik pembicaraan sepanjang perjalanan.

Dialog tersebut begitu luwes dan hidup dimainkan para aktornya sehingga menyentuh banyak orang yang kemudian juga bersepakat bahwa laku bergosip atau bergunjing yang direfleksikan film Tilik lumrah terjadi di banyak elemen kehidupan masyarakat Indonesia.

Lantas apa yang menyebabkan film berbahasa Jawa ini cepat viral dan diterima banyak orang? Apakah semata karena isi ceritanya yang menarik dan sehari-hari?

Ataukah karena momen pandemi yang membuat banyak orang tidak punya pilihan selain mencari hiburan film pendek menarik seperti Tilik? Sungguh, ada banyak faktor yang bisa dibedah soal kepopuleran film pendek fenomenal tersebut, seperti halnya pro-kontra yang melatari booming-nya film Tilik di media sosial.

Satu hal yang pasti, salah satu unit terkecil yang menyebabkan film pendek sarat lokalitas tersebut naik daun adalah keberadaan subtitle atau takarir yang turut menyebabkan Tilik dapat diterima luas di Indonesia. 

Nilai tambah takarir bagi sineas lokal

Kamu bisa saja berpendapat puluhan juta tayangan yang diperoleh film Tilik disebabkan mayoritas penontonnya orang Jawa atau setidaknya orang yang mengerti bahasa Jawa (khususnya Yogyakarta dan Jawa Tengah) lengkap dengan humor serta lokalitas di dalamnya.

Pendapat itu bukan tidak menyimpan barang sekuku kebenaran, menilik jumlah penduduk di Yogyakarta dan Jawa Tengah saja, jika diakumulasikan, mencapai nyaris 40 juta jiwa.

Kendati demikian, mengesampingkan peran takarir juga sama celakanya. Takarir atau teks dialog pada film (terletak di bagian bawah tampilan layar film) sangat memungkinkan penutur asing atau orang yang tidak memahami bahasa aslinya menjangkau isi pesan di dalam film tersebut.

Takarir pula yang menyebabkan banyak film dari berbagai belahan dunia dapat dipahami masyarakat dari belahan negara lainnya. Tilik merupakan salah satu contoh paling dekat, ketika film berbahasa Jawa dapat dipahami orang lain yang tidak memahami bahasa Jawa.

Contoh lainnya bertebaran banyak di kehidupan sehari-hari, terutama bagi kamu yang memiliki kebiasaan saban waktu menonton film festival maupun box office di bioskop maupun layanan streaming.

Ketika kamu bisa memahami isi pesan dari film berbahasa Ibrani, Thailand, atau Korea tanpa harus memiliki riwayat mengenyam pendidikan ketiga bahasa tersebut, di sanalah peran takarir berada.

Takarir memungkinkan audiens berbahasa asing memahami konten film asing yang ditontonnya. Interaksi dengan audiens pun terwujud. Film berbahasa asing dari negara lain bisa sangat menyentuhmu tanpa kamu harus pernah mengunjungi negara tersebut atau memahami bahasa aslinya. Film itu kemudian menjadi perbincangan dan kamu menyarankan teman-temanmu untuk menyaksikan film tersebut.

Pangsa penontonnya pun makin luas, dan roda industri perfilman terus berputar. Tak ayal, takarir menjadi nilai tambah bagi para sineas lokal.

Bahkan, statistik dari PLYMedia menunjukkan 80% video dengan takarir lebih sering ditonton dibandingkan video tanpa takarir.

Nah, tunggu apa lagi? Jika ingin karyamu dikenal luas, bahkan mendunia, tambahkan (terjemahan) takarir ke dalam filmmu dan jangkau lebih banyak audiens.

Hubungi kami

×