Era Melayu Kuno
Akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Pada abad ke-7 Masehi, bahasa Melayu menjadi lingua franca di beberapa kawasan Asia Tenggara. Ketika itu, Kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadi kerajaan terbesar di Nusantara, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa kenegaraannya. Hal ini dibuktikan dengan digunakannya bahasa Melayu kuno pada empat prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Sumatra bagian Selatan, yaitu Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Kota Kapur, dan Prasasti Karang Berahi.
Kemudian pada abad ke-15, bahasa Melayu Klasik mulai berkembang. Bahasa ini dipakai oleh Kesultanan Melaka. Dalam perkembangannya kelak, bahasa ini disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi atau Melayu Riau.
Hingga akhir abad ke-19, sedikitnya ada dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara, yaitu bahasa Melayu Pasar yang tidak baku dan bahasa Melayu Tinggi yang pemakaiannya cukup terbatas. Bahasa Melayu dengan dua kelompok tersebut, ketika itu, telah menjadi lingua franca bagi masyarakat Nusantara, walaupun banyak juga yang masih menggunakannya sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Era Pemerintahan Kolonial
Di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal, termasuk dalam proses administrasi di kalangan pegawai pribumi yang dinilai tidak terlalu menguasai bahasa Belanda. Ketika itu, bahasa Melayu dan bahasa Belanda sempat bersaing ketat.
Gubernur Jenderal Rochussen yang saat itu menjabat sempat mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat. Namun, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Hindia Belanda, di antaranya van der Chijs, dan J.H. Abendanon yang merupakan Direktur Departemen Pengajaran. Abendanon berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.
Pada akhirnya, persaingan ini dimenangkan oleh bahasa Melayu. Pemerintah Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dengan ragam variasinya adalah bahasa yang sudah dikenal baik oleh penduduk Hindia Belanda.
Guna menciptakan sistem pendidikan di negeri jajahannya, pemerintah kolonial Belanda pun membentuk panitia khusus untuk menentukan jenis bahasa Melayu yang akan digunakan di sekolah-sekolah dasar. Akhirnya, bahasa Melayu Riau dikukuhkan sebagai bahasa Melayu standar dan menjadi bahasa resmi Balai Pustaka.
Bahasa Melayu Riau inilah yang kemudian dikembangkan menjadi bahasa Indonesia. Pada era ini, tepatnya 1896, Charles Adriaan van Ophuijsen memulai proyek guna menstandarkan aksara Latin untuk bahasa Melayu. Standar tersebut ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Kitab Logat Melajoe yang kemudian dijadikan pedoman tata bahasa dengan nama Ejaan van Ophuijsen yang berlaku dari 1901 sampai 1947.
Promosi bahasa Melayu pun gencar dilakukan, termasuk di sekolah-sekolah. Promosi ini juga didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Dari situ, terbentuklah “embrio” bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuknya yang semula.
Era Kebangkitan Nasional
Di era ini, bibit pergerakan nasional mulai bermekaran. Para pemuda Indonesia mulai bergerak, membentuk berbagai organisasi. Para pemuda yang tergabung dalam perkumpulan akhirnya mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai bahasa persatuan bangsa dalam ikrar “Sumpah Pemuda”. Ketika itu, Muhammad Yamin adalah pengusul bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Lantas penggantian nama dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia mengikuti usulan Mohammad Tabrani.
Seterusnya, bahasa Indonesia maju pesat. Kegiatan politik, perdagangan, dan media massa makin memodernkan bahasa Indonesia. Hal lain yang turut berkontribusi pada perkembangannya adalah dinamika para sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Mereka aktif memberi pengaruh dalam tumbuh kembang bahasa dan sastra Indonesia. Para sastrawan tersebut menyumbang banyak perbendaharaan kata, serta memperkaya sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia. Lalu pada 1933, lahir sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane.
Pada 1936, Sutan Takdir Alisjahbana pun menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Namun, bahasa yang dipakai masih bahasa Melayu Tinggi. Chairil Anwar-lah yang berjasa meredupkan perbedaan antara bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah ketika itu.
Pada 25–28 Juni 1938, dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Sejak itu, Kongres Bahasa Indonesia rutin digelar untuk membahas perkembangan bahasa Indonesia. Hasil dari kongres ini banyak berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian bangsa.
Era Kemerdekaan
Pada 19 Maret 1947, pemerintah menetapkan ejaan baru dan diberi nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi karena yang menetapkan dan mengganti ejaan itu adalah Mr. Raden Soewandi selaku Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Ejaan Soewandi berlaku dari 1947 sampai 1972.
Pada era Orde Baru, ejaan bahasa Indonesia diperbarui menjadi Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). EYD disahkan oleh Presiden Soeharto saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1972. Kemudian 12 Oktober 1972, panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD).
Pada 27 Agustus 1975 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD) dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI). Selanjutnya, PUEYD diperbarui menjadi EYD edisi II pada 1987.
Setelah itu, ejaan ini mengalami pembaruan kembali pada 2009 dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD) Edisi III. Pedoman ini kembali diperbarui pada 2015, dan diberi nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) Edisi IV.
Akhirnya—walaupun belum tentu menjadi yang terakhir—pada 16 Agustus 2022, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, meluncurkan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) Edisi V.
Sumber:
https://kantorbahasasultra.kemdikbud.go.id/berita-ejaan-bahasa-indonesia-dulu-hingga-sekarang.html
https://www.ruangguru.com/blog/perkembangan-ejaan-bahasa-indonesia
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/11/09/inilah-asal-usul-bahasa-indonesia
https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-bahasa-indonesia-dari-era-kerajaan-hingga-era-penjajahan/
https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/17/180000365/sejarah-bahasa-indonesia?page=all
https://tirto.id/sejarah-bahasa-melayu-sebagai-lingua-franca-di-asia-tenggara-eBCU