Tidak sekadar memperkenalkan informasi, pemikiran dan unsur kebudayaan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, terjemahan di masa lampau juga berperan besar memperkuat komunitas budaya di sebuah kawasan. Seperti yang dialami komunitas Tionghoa perantauan dan peranakan yang tersebar di Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Ketika Nusantara masih memayungi tiga negara Asia Tenggara tersebut, penerjemahan buku agama, filsafat dan sastra berbahasa Melayu-Tionghoa turut mengokohkan kebudayaan baru yang dibangun komunitas Tionghoa setempat.
Peran bahasa Melayu-Tionghoa begitu besar bagi komunitas Tionghoa yang sudah berabad-abad mendiami ketiga negara tersebut. Terutama bagi banyak generasi muda yang tidak menguasai bahasa Tionghoa. Khususnya bahasa Tionghoa klasik yang banyak digunakan pada cerita-cerita kuno dan bahasa Mandarin yang digunakan pada novel Tionghoa modern.
Banyak dari generasi muda Tionghoa perantauan dan peranakan kala itu lebih fasih menggunakan bahasa Melayu yang khas ketika berkomunikasi dengan sesama kalangan maupun dengan masyarakat Melayu. Bahasa Melayu yang khas itu disebut sebagai bahasa “Melayu-Tionghoa”atau Chinese Malay.
Awal mula penerjemahan bahasa Melayu-Tionghoa
Proyek penerjemahan literatur berbahasa Tionghoa ke dalam bahasa Melayu-Tionghoa sendiri dimulai pada tahun 1880-an. Proses penerjemahannya dilakukan secara tertulis dan dicetak agar dapat dibaca oleh komunitas Tionghoa perantauan. Tujuannya tidak lain untuk menjaga kebudayaan leluhur agar tetap diketahui oleh masyarakat Tionghoa di perantauan.
Adapun karya-karya berbahasa Tionghoa yang diterjemahkan membentang dari zaman kuno hingga pascaperang dunia kedua. Seiring berjalannya waktu, penerjemahan dari bahasa Tionghoa ke dalam bahasa Melayu-Tionghoa memperkokoh peran bahasa tersebut sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan harian. Lebih dari itu, bahasa Melayu-Tionghoa juga memiliki bahasa tulis yang dapat digunakan pada media massa dan karya sastra.
Peran Bahasa Melayu-Tionghoa
Digunakannya bahasa Melayu-Tionghoa sebagai bahasa tulis maupun komunikasi sehari-hari mempertegas kebudayaan baru Tionghoa peranakan yang bermukim di Singapura dan Malaysia. Kebudayaan baru itu bernama kebudayaan Baba. Bahasa Melayu-Tionghoa kemudian menjadi jembatan yang menghubungkan komunitas Baba dengan kebudayaan leluhurnya di Tiongkok melalui terjemahan produk literasi asli negeri tersebut.
Tak hanya itu, akibat mayoritas komunitas Baba tidak menguasai bahasa Belanda dan Inggris, terjemahan literasi berbahasa Melayu-Tionghoa menjadi tumpuan masyarakat Tionghoa peranakan ketika menelaah perkembangan dunia melalui literasi asing yang diterjemahkan menggunakan bahasa itu.
Hal serupa juga dialami komunitas Tionghoa peranakan di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, peran bahasa Melayu-Tionghoa begitu besar membentuk komunitas Tionghoa peranakan setempat.
Dua koran berbahasa Melayu-Tionghoa, Keng-po dan Sin-po misalnya menjadi representasi komunitas Tionghoa peranakan Indonesia, khususnya di Jakarta. Bahkan cerita silat berbahasa Indonesia tentang Babad Jawa seperti Api di Bukit Menoreh, gaya penceritaannya juga terinspirasi buku cerita serial Kung-Fu yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa.
Demikian pentingnya pengaruh terjemahan bahasa Melayu-Tionghoa dalam memperkuat kebudayaan komunitas Tionghoa peranakan di Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Nah, jangan pernah anggap remeh peran aktivitas di agensi terjemahan ya.