Selain pelokalan, ada unit layanan lain dalam industri penerjemahan yang disebut sebagai transkreasi.
Berbeda dengan pelokalan yang menyajikan bahasa, tampilan, dan nuansa sesuai harapan audiens sasaran, transkreasi bergerak lebih jauh.
Layanan ini memungkinkan sebuah produk dibentuk oleh selera pasar lokal, menghasilkan strategi pemasaran global yang tingkat keberhasilannya lebih signifikan dan mudah dicerna penduduk asli target sasaran.
Secara sederhana, trankreasi dibentuk oleh tiga unsur yaitu bahasa, budaya dan emosi. Lebih jauh, mari simak perbedaan pelokalan dan transkreasi melalui pemaparan berikut ini:
Pelokalan
Untuk memahami perbedaan pelokalan dan transkreasi, kamu dapat menilik bagan proses kreatif ketiganya dengan logika berpikir seperti ini:
Terjemahan —-> Pelokalan —-> Transkreasi
Dari bagan di atas, dapat diketahui, pelokalan merupakan bentuk penerjemahan tingkat lanjut.
Ya, tak sama halnya dengan penerjemahan, pelokalan mengadaptasi bahasa tekstual menjadi seakrab dan seasli mungkin dengan bahasa target audiens, lengkap dengan konteks budaya dan bahasanya. Sementara itu, penerjemahan, dalam pengertiannya yang terbatas, hanya sekadar mengalihbahasakan teks berbahasa sumber ke bahasa tujuan.
Melalui proses pelokalan, rangkaian informasi yang sama dapat dipahami oleh warga negara berbeda dengan bahasa yang berbeda, identitas visual berbeda, preferensi berbeda, hingga karakter numerik berbeda sesuai bahasa lokal masing-masing.
Benar, terjemahan merupakan salah satu komponen dalam proses pelokalan. Namun dalam praktiknya, pelokalan dapat lebih kompleks, rumit, dan ketat karena aktivitas ini menuntut tim penerjemah mengenali betul lekuk kebudayaan dan bahasa suatu negara.
Ya, adaptasi linguistik dan budaya tidak boleh lepas dari proses pelokalan sebuah produk atau konten secara menyeluruh.
Diksi, dialek, persyaratan hukum, mata uang, aspek visual, format penulisan hari dan tanggal, hingga preferensi budaya bahasa asal harus diadaptasi sesuai bahasa lokal tujuan.
Sederhananya, pelokalan menyajikan bahasa, tampilan, dan nuansa sesuai harapan audiens sasaran.
Salah satu contoh pelokalan yang yang berhasil memberikan sentuhan personal bagi pengguna layanannya yaitu situs akomodasi penginapan, AirBnB.
Alternatif tempat penginapan yang kental dengan unsur eksotisme syarat lokalitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi jutaan pelanggan yang menghendaki tempat penginapan seru dan otentik, alih-alih bermalam di hotel berbintang.
Selain menawarkan harga yang lebih murah, umumnya penginapan yang bekerja sama dengan AirBnB menawarkan tempat bermalam yang memungkinkan kamu liburan layaknya di rumah sendiri.
Tidak hanya bekerja sama dengan penginapan yang sanggup menghadirkan perasaan hangat dan akrab bagi penggunanya, AirBnB juga melokalkan seluruh konten, termasuk informasi pendaftaran hingga ulasan konsumen di situsnya dalam 62 bahasa berbeda di 220 negara, tak terkecuali Indonesia.
Bahkan, kamu dapat menyimak panduan aktivitas dan tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi di setiap daerah di Tanah Air melalui situs ini. Hal itu merupakan salah satu strategi pelokalan AirBnB untuk tetap relevan dengan pasar setempat.
Transkreasi
Seperti yang telah disebutkan di awal, transkreasi merupakan pelokalan tingkat lanjut. Layanan ini memungkinkan sebuah produk dibentuk oleh selera pasar lokal, menghasilkan strategi pemasaran global yang tingkat keberhasilannya lebih signifikan dan mudah dicerna penduduk asli target sasaran.
Dalam praktiknya, transkreasi melakukan penyesuaian kata maupun gambar dengan mengadapatasi emosi, nuansa, idiom, ucapan, dan ungkapan penduduk setempat.
Gampangnya, jika pelokalan dianalogikan sebagai aktivitas berenang di permukaan air, transkreasi merupakan aktivitas menyelam.
Dalam praktiknya, pesan sebuah produk yang ditrankreasikan harus memperoleh pengalaman emosional yang identik kepada audiens dalam bahasa target, seperti halnya terjadi pada audiens dalam bahasa sumber.
Salah satu contoh transkreasi yang berhasil adalah adalah McDonald’s.
Restoran waralaba asal Amerika Serikat ini dikenal dengan slogan populernya “I’m lovin ‘it”. Ketika McDonald’s memasuki pasar Tiongkok, slogan ini harus ditranskreasikan agar sesuai dengan ekspresi lokal menjadi “I just like it”.
Bukan tanpa sebab, kata “cinta” dalam bahasa Mandarin, merupakan istilah yang sangat serius dan jarang diucapkan. Sehingga tim pemasaran McDonald’s menggantinya dengan kata “suka”, ekspresi lokal yang lebih sejalan dengan budaya Tionghoa.
Lebih lanjut, tim pemasaran McDonald’s tidak hanya sekadar melakukan transkreasi pada slogan namun juga menu makanannya.
McDonald’s di India misalnya merilis menu McPaneer Royale agar dapat lebih relevan dan menggaet rasa penasaran audiens setempat.
Sama halnya dengan McDonald’s di Indonesia yang menggunakan ayam goreng tepung dan nasi putih sebagai menu andalan lain selain burger. Strategi produk yang menyesuaikan selera pasar lokal ini dilakukan agar target audiens dapat lebih mudah menerima agenda pemasaran global McDonald’s, tanpa menyadari bahwa mereka menyantap makanan dari negara lain.